artikel pajak

Potensi Pajak Di Sektor Ekonomi Digital Yang Belum Tergarap Optimal

Optimalisasi Potensi Pajak Dalam Ekonomi Digital

Di Indonesia

 

Potensi Pajak Ekonomi digital

Potensi Pajak Ekonomi digital

Perkembangan ekonomi digital di Indonesia beberapa tahun terakhir cukup pesat. Berbagai startup teknologi bermunculan dan mulai menjamur di berbagai sektor seperti e-commerce, fintech, on-demand services, hingga konten digital. Tentu pertumbuhan ini menjadi angin segar bagi perekonomian Indonesia dan membuka peluang perluasan basis pajak.  Menurut riset dari Google dan Temasek, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2022 diproyeksikan mencapai $ 146 miliar atau sekitar Rp 2.200 triliun (kurs Rp. 15.000 per dollar AS). Angka ini meningkat tajam dari proyeksi tahun sebelumnya senilai $ 70 miliar. Hampir semua sektor industri digital tumbuh positif, mulai dari e-commerce, hingga layanan finansial digital.

Namun disayangkan, pajak dari sektor menjanjikan ini tidak tergarap secara maksimal. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Suryo Utomo, menyebut potensi penerimaan negara dari sektor digital ini bisa mencapai Rp 12 triliun per tahun. Namun realisasinya pada tahun 2022 lalu hanya sekitar Rp 1,2 triliun saja.

Mengapa penerimaan pajak dari sektor digital masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhannya yang cukup fantastis? Ini karena memang regulasi pajak untuk industri digital masih belum memadai di Indonesia. Celah-celah penghindaran pajak pun masih besar. Berikut beberapa penyebab utamanya:

  1. Model Bisnis Digital yang Tidak Tersentuh Pajak Konvensional

Bisnis digital sering menggunakan model bisnis yang sulit untuk dilibatkan dalam kerangka perpajakan tradisional. Beberapa perusahaan dapat beroperasi tanpa memiliki kehadiran fisik yang signifikan di suatu wilayah, sehingga sulit bagi otoritas pajak untuk menentukan basis perpajakan yang tepat.

  1. Tantangan Pemantauan Transaksi dan Pendapatan

Transaksi digital sering melibatkan kecepatan dan volume yang tinggi, membuat pemantauan dan pengumpulan data transaksi menjadi lebih sulit. Hal ini menyulitkan pihak berwenang dalam melacak pendapatan yang sebenarnya dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban pajak.

  1. Ketidakjelasan Peraturan Perpajakan Digital

Ketidakjelasan peraturan perpajakan terkait bisnis digital dapat menjadi hambatan. Beberapa negara mungkin belum memiliki peraturan yang cukup jelas atau sesuai untuk menangani transaksi dan kegiatan bisnis online, yang dapat memunculkan kesenjangan dalam pemungutan pajak.

  1. Kendala Kerjasama Internasional

Sebagian besar bisnis digital bersifat lintas batas, membuat kerjasama internasional dalam pengaturan perpajakan menjadi sangat penting. Namun, kendala dalam mencapai konsensus internasional tentang regulasi perpajakan digital dapat menghambat upaya pengumpulan pajak yang efektif.

  1. Teknologi Blockchain dan Anonimitas

Beberapa bisnis digital menggunakan teknologi blockchain atau menerapkan tingkat anonimitas yang tinggi, membuat identifikasi dan pelacakan transaksi menjadi lebih rumit bagi pihak berwenang perpajakan.

  1. Kesenjangan dalam Infrastruktur Perpajakan

Infrastruktur perpajakan yang belum sepenuhnya siap menghadapi transaksi digital dapat menciptakan kesenjangan dalam kemampuan otoritas pajak untuk mengumpulkan dan memproses informasi dengan efisien.

  1. Tantangan Penyusunan Kebijakan yang Cepat

Pertumbuhan cepat sektor digital seringkali melebihi kecepatan penyusunan kebijakan perpajakan. Pihak berwenang dapat kesulitan mengikuti perkembangan teknologi dan model bisnis baru dengan peraturan yang relevan dan efektif.

  1. Tingginya Kreativitas dalam Perencanaan Pajak

Bisnis digital cenderung memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk merancang struktur perusahaan mereka secara kreatif guna meminimalkan kewajiban pajak. Ini menciptakan tantangan ekstra bagi otoritas pajak dalam memastikan adilnya kontribusi pajak dari sektor ini.

Penyelesaian dari tantangan ini memerlukan kolaborasi yang kuat antara sektor swasta, pemerintah, dan otoritas pajak. Pengembangan regulasi perpajakan yang jelas, implementasi teknologi terkini untuk pemantauan, dan kerjasama internasional yang lebih baik dapat membantu meningkatkan penerimaan pajak dari sektor digital.  Sejauh ini, pemerintah baru mengenakan Pajak Penghasilan (PPh), baik pasal 21, 22 maupun 23 untuk transaksi digital. Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) belum bisa diterapkan karena rentan dimanipulasi. Misalnya penjual menekan nilai barang agar kena pajak lebih rendah.

Oleh sebab itu, pemerintah tengah melakukan kajian agar PPN bisa diterapkan untuk transaksi digital. Diharapkan kebijakan ini rampung pada 2024, sehingga penerimaan pajak makin meningkat. Selain itu, penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 juga akan membuat ketentuan perpajakan transaksi ekonomi digital lebih jelas dan mempersempit celah penghindaran pajak.

Adapun regulasi perpajakan yang saat ini mengatur transaksi ekonomi digital merujuk pada Pasal 18A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Selain itu terdapat pula Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait perdagangan melalui sistem elektronik yang berlaku per 1 Januari 2022 lalu.

Intinya, peraturan-peraturan tersebut mengharuskan penyedia platform digital yang bertransaksi atau memfasilitasi penjualan barang dan jasa untuk memotong, menyetorkan, serta melaporkan pajaknya. Misalnya saja platform marketplace harus memotong, menyetor, dan melaporkan pajak penghasilan Pasal 23 atas penghasilan dari seluruh penjual di platform mereka masing-masing.

Namun masih banyak penyedia platform digital ini yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya, kembali merujuk pada minimnya jumlah realisasi pajak dari sektor digital. Transparansi data yang rendah masih menjadi kendala signifikan. Untuk itu perlu kerja sama juga dengan pihak-pihak terkait agar kewajiban perpajakan berjalan optimal.

Pakar perpajakan, Yustinus Prastowo menilai optimisme pemerintah untuk menggenjot pajak dari sektor digital ini tidak berlebihan. Menurutnya, nilai ekonomi digital saat ini baru meliputi 2,1 persen Produk Domestik Bruto (PDB) RI, masih jauh di bawah rata-rata negara ASEAN sekitar 5,5 persen, apalagi Malaysia yang sudah mencapai angka 18,5 persen.

Baca Juga : Peluang dan tantangan perkembangan Bisnis di Era digital

Indonesia pun masih tertinggal dibanding negara maju seperti Inggris atau Amerika Serikat yang kontribusi ekonomi digitalnya sudah lebih dari 10 persen PDB. Ini artinya ruang untuk terus berkembang masih sangat besar dengan dukungan regulasi yang memadai, termasuk peraturan perpajakannya.

Sejalan dengan ekspektasi perkembangan ekonomi dan pendigitalan nasional, maka potensi pajak dari transaksi dan aktivitas digital ini akan semakin menjanjikan di masa depan. Ditambah upaya pemerintah yang terus menggodok kebijakan agar penerimaan negara makin optimal, termasuk rencana penerapan PPN untuk transaksi digital.

Perlu diketahui, banyak negara maju bahkan sudah menerapkan digital services tax, yaitu pajak khusus untuk jasa digital seperti platform media sosial, search engine, maupun layanan streaming video dan musik. Pajak ini terpisah dari pajak penghasilan konvensional. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari praktik terbaik ini.

Singkatnya, potensi pajak dari transaksi ekonomi digital di Indonesia masih besar dan perlu digarap optimal agar penerimaan negara makin meningkat. Pemerintah perlu terus berinovasi menerbitkan regulasi perpajakan yang adaptif mengikuti perkembangan teknologi dan tren digital. Kerja sama dengan berbagai pihak terkait agar kepatuhan dan transparansi data juga perlu ditingkatkan.

Dengan kompleksnya peraturan perpajakan digital yang masih terus berkembang, tidak heran jika banyak pelaku usaha di sektor digital masih belum memahami kewajiban perpajakannya dengan baik. Celah untuk penghindaran pajak pun masih cukup lebar. Agar kepatuhan pajak optimal dan potensi pajak di era digital ini bisa dimaksimalkan, maka dibutuhkan pendampingan dari para ahli dan konsultan perpajakan profesional. Salah satunya adalah jasa konsultan pajak MAB Consulting. Tim konsultan pajak MAB selalu update dengan regulasi pajak terbaru, sehingga mampu memberikan strategi perencanaan pajak yang sah dan efisien.

Jadi bagi Anda yang memiliki usaha digital seperti e-commerce, marketplace, fintech, dan platform digital lainnya, jangan ragu untuk berkonsultasi kepada para ahli pajak di MAB Consulting. Biarkan pakar pajak kami yang mengurus segala keperluan perpajakan Anda agar fokus mengembangkan bisnis digital masa depan.

Baca Juga :

Baca Juga :

antijobless apajada castmagz clasnatur dibungkus foragio gayaremaja gres healthitshow hobikita increase digital Info Kita inspira justladies kata data Kilas lensa berita momenz onthespotrest Pojok portal kita retropalooza satuwarta sirumahminimalis sudut info tanda tanya trend update Trenz ulasanqu zona info Emkay Series

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *